novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Tetapi takdir berkata lain, dan aku harus menerima.

Meski terkadang aku masih merasa hampa. Terlebih bulan-bulan pertama kepergianmu. Begitu beratnya hingga aku tak yakin bisa melalui ujian ini. Tanpamu, setiap hari aku berjalan bagai tak menapak, limbung dan kehilangan arah.

Aku nyaris tak bisa makan. Kalaupun akhirnya menyuapkan nasi ke mulut, tak lebih memenuhi kebutuhan fisik semata. Setiap malam tiba, mataku sulit dipicingkan.

Terkadang aku membayangkan sosokmu, namun dengan cepat angan ini hempas ketika melihat ruang kosong di sisi tempat tidur yang dulu terisi olehmu.

Allah, kusebut namanya berulang-ulang.

Jika saja tak ada iman, Cinta, aku nyaris tak kuasa melanjutkan hidup tanpamu.

(Tak sabar kutunggu pertemuan itu, semoga Aliah mempertemukan cinta kita nanti, ketika maut menjemputku…)
–o0o–
Enam lembar surat curahan hati dari mbak Yayu, ibunda Hana, teman sepermainan Adam, putra kedua saya, sampai ke tangan saya beberapa hari setelah kepergian suaminya.

Enam lembar yang ditulis dengan sepenuh hati dan memberikan gambaran detik-detik sakaratul maut sang suami, dan beratnya kehidupan setelah itu. Ketika berlembar-lembar tulisan yang diketik rapi itu sampai ke tangan saya, ide menyusun buku ini bahkan belum lagi muncul.

Saya menerima sambil mencatat dalam hati, suatu hari saya akan menulis ulang catatan hati mbak Yayu. Pada kenyataannya saya hanya mampu mengubah penyajian tulisan, sementara sebagian besar kata-kata mengalir persis seperti mbak Yayu mencatatnya. Sengaja saya tidak ingin mengubah kenangan mbak Yayu terhadap almarhum suami, saya ingin mbak Yayu melihat catatan hatinya secara utuh.

Terima kasih saya karena mbak Yayu berkenan menuliskannya untuk saya. Hal yang amat saya sarankan kepada perempuan-perempuan Indonesia. Menulis agar kita memiliki sesuatu untuk dikenang. Menulis apa saja tentang hari-hari yang kita lalui sebagai istri dan ibu.

Apakah anda akan membaginya dengan orang yang bisa anda percaya, atau tidak… tidak jadi soal. Paling tidak dengan menuliskannya bisa menjadi terapi tersendiri, saat hati terbebani ribuan masalah dan kesedihan.
* * *
(Yayu Purwaningsih dan Asma Nadia)

Catatan 11
Obrolan Pagi di Kereta


“Jika cerita itu benar, bagaimanakah ekspresi Pak Dosen saat mengucapkan kalimat itu?”

Dering telepon berulang. Perhatian saya kontan terarah kepada nama yang tertera di layar ponsel. Kang Gito.

Kontak batin mungkin. Sehari sebelumnya saya sempat menelpon ke rumah beliau, namun tidak ada yang mengangkat.Dan kesibukan mempersiapkan se gala sesuatu untuk PULPEN (Pelatihan Menulis Cerpen), membuat saya luput menghubungi beliau kembali.

Dana beasiswa dari Diknas yang saya peroleh memang saya pergunakan untuk mengadakan PULPEN di 3 kota; Jakarta dan sekitarnya, Pekalongan, dan terakhir di Aceh.

Untuk keperluan itu, semua hal nyaris diurus sendiri.
Mulai mempersiapkan bingkisan buku dan notes untuk seluruh peserta, sertifikat, mengcopy makalah, termasuk buku-buku doorprize. Hasilnya sekardus besar yang luar biasa berat untuk saya angkut sendiri ke Pekalongan.

Dan dering telepon di ponsel terdengar, ketika saya belum lama akhirnya berhasil beristirahat setelah beberapa menit berpikir di mana saya harus meletakkan kardus besar, yang ternyata tidak muat di deck yang ada di atas kursi penumpang kereta api ini.

Kang Gito. Saya berhutang janji untuk menjenguknya. Telepon terakhir lelaki itu menceritakan pengapuran di tulang belakang yang harus dioperasi. Di kemudian hari saya tahu ternyata ada sel-sel kanker yang kembali muncul merongrong kesehatan beliau.

Kang Gito dan saya, sejujurnya hanya beberapa kali bertemu. Tetapi uniknya seperti teman baik yang kemudian saling ‘mencemburui’. Saya sejujurnya cemburu, bahkan iri pada komitmen taubat dan hijrah beliau, mantan vokalis The Rollies, yang juga mengenal baik papa saya. Sebaliknya Kang Gito sering mengungkapkan kecemburuannya pada saya, yang menurutnya terus ‘berjalan’, apa pun kondisinya.

Juga ruang aktivitas yang menurutnya kondusif terhadap upaya membangun keikhlasan.
Wallahu alam. Bagi saya kata ikhlas memiliki ranjau-ranjau yang membuat orang dengan mudah tergelincir dari niat semula. Ikhlas menjadi tidak ikhlas. Sesuatu yang sulit diraih tetapi sangat mudah hilang dari genggaman hati.

Dari obrolan selama nyaris dua puluh menit itu, ada satu cerita yang saya rasakan mengiris hati dan lagi-lagi membuat saya tidak bisa mengerti benak laki-laki.

Saya tahu dunia tidak hitam putih. Tidak semua lelaki jahat. Seperti tidak semua perempuan baik. Tetapi seperti saya, bagaimanakah anda akan mencerna cerita ini?

“Seorang muslimah, Asma… datang ke tempat saya.

Rapi dengan jilbab yang tidak ketat seperti jilbab kamu,”

Kang Gito membuka ceritanya.
Muslimah tersebut sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Kedatangannya ke tempat Kang Gito untuk meminta bantuan. Entah bagaimana ceritanya si muslimah yang masih kuliah di salah satu kampus Islam terkenal di Jakarta itu, terlibat hutang dalam jumlah yang cukup besar.

Berbagai upaya dilakukan, termasuk meminta bantuan ustadz dan ustadzah terkenal, namun konon dibukakan pintu pun tidak. Saya berprasangka baik, barangkali rumah ustadz/ustadzah tersebut da lam keadaan kosong dan mereka sedang tidak berada di tempat.

Terakhir muslimah ini meminta bantuan kepada seorang dosen yang mengajar di kampusnya. Seperti ada kesejukan yang meniup saat Pak Dosen mengangguk.

Alhamdulillah, akhirnya ada jalan keluar.

Akhirnya ada seseorang yang mengangkat beban yang menggayuti pundak si muslimah. Benarkah?

“Dengan satu syarat,” lelaki itu melanjut, “kamu harus tidur dengan saya.”

Si muslimah tersentak kaget.
Saya yang hanya mendengar cerita itu dari orang kedua pun tersentak. Tak percaya. Sebagai penulis yang kerap berimajinasi, seketika kepala saya membayangkan, jika cerita itu benar, bagaimanakah ekspresi Pak Dosen saat mengucapkan kalimat itu?

Apalagi dalam gamang si muslimah sempat bertanya ragu kepada dosen tersebut,

“Sekali saja, ya Pak?”
Lelaki di hadapannya menggeleng, “Pokoknya sampai saya anggap lunas!”

Masya Allah.

Di mana nurani? Dimana ketulusan? Di manakah moralitas ?

Saya tidak tahu apakah sang dosen sudah menikah, mempunyai anak atau masih lajang. Kisah serupa pernah saya dengar sebelumnya. Seorang teman yang bekerja di dunia film sempat menceritakan, betapa peluang terbuka lebar bagi pekerja film, terutama sutradara atau asistennya untuk ‘mengerjai’ calon pemain yang minta peran.

Meluluskan dengan imbalan calon pemain yang biasanya gadis-ga dis muda itu, bersedia tidur dengan mereka.

Dan gadis-gadis yang gelap mata karena ambisi, tidak sedikit yang menerima syarat tersebut.

Tetapi untuk kasus yang satu ini? Tetap saja dengan logika mana pun saya sulit mengerti bagaimana laki-laki bisa melihat ‘kesempatan’ sedemikian, saat seorang perempuan datang dalam keputusasa-an dan memohon bantuan?

Terlukis di benak saya, raut memelas dan putus asa dari muslimah tersebut ketika bertanya terakhir kali kepada Kang Gito,

“Apa saya harus bercerai dulu dari suami, terus menikah dengan dosen itu, Kang? Baru setelahnya kembali pada suami?”